Saturday 9 February 2013

Kutai Kartanegara


Sejarah Kutai Kartanegara
Letak Kerajaan
Kerajaan kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan ini terletak ditepi sungai Mahakam di Muarakaman, Kalimantan Timur, dekat kota Tenggarong.

Pendiri Dinasti
Diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4 M prasasti tersebut didirikan oleh Raja Mulawarman. Bukti sejarah tentang kerajaan Kutai adalah ditemukannya tujuh prasasti yang berbentuk yupa (tiang batu) tulisan yupa itu menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta.
Adapun isi prasati tersebut menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai bernama Kudungga. Ia mempunyai seorang putra bernama Asawarman yang disebut sebagai wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah meninggal, Asawarman digantikan oleh Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan nama-nama raja pada generasi berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh ajaran Hindu dalam kerajaan Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.
Kehidupan Kerajaan
Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai merupakan terjemahan dari prasasti-prasasti yang ditemukan oleh para ahli. Diantara terjemahan tersebut adalah sebagai berikut :
Masyarakat di Kerajaan Kutai tertata, tertib dan teratur
Masyarakat di Kerajaan Kutai memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya luar (India), mengikuti pola perubahan zaman dengan tetap memelihara dan melestarikan budayanya sendiri.
Kehidupan ekonomi di Kerajaan Kutai dapat diketahui dari dua hal berikut ini :
Letak geografis Kerajaan Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai, disamping pertanian.
Keterangan tertulis pada prasasti yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan hartanya berupa minyak dan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.
Kehidupan budaya masyarakat Kutai sebagai berikut :
Masyarakat Kutai adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya nenek moyangnya.
Masyarakat yang sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan kebudayaan.
Menjunjung tingi semangat keagamaan dalam kehidupan kebudayaannya.
Masuknya Pengaruh Budaya
Masuknya pengaruh budaya India ke Nusantara, menyebabkan budaya Indonesia mengalami perubahan. Perubahan yang terpenting adalah timbulnya suatu sistem pemerintahan dengan raja sebagai kepalanya. Sebelum budaya India masuk, pemerintahan hanya dipimpin oleh seorang kepala suku.
Selain itu, percampuran lainnya adalah kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia mendirikan tugu batu. Kebiasaan ini menunjukkan bahwa dalam menerima unsur-unsur budaya asing, bangsa Indonesia bersikap aktif. Artinya bangsa Indonesia berusaha mencari dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing tersebut dengan kebudayaan sendiri.
Bangsa Indonesia mempunyai kebiasaan mendirikan tugu batu yang disebut menhir, untuk pemujaan roh nenek moyang, sedangkan tugu batu (Yupa) yang didirikan oleh raja Mulawarman digunakan untuk menambatkan hewan kurban.
Pada prasasti itu juga diceritakan bahwa Raja Mulawaraman memerintah dengan bijaksna. Ia pernah menghadiahkan ± 20.000 ekor sapi untuk korban kepada para brahmana / pendeta. Dan dalam prasasti itu pun menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti, mengapa bukan ayahnya Kudungga yang menjadi pendiri dinasti tetapi anaknya Aswawarman? Hal itu karena pada saat itu Raja Kudungga belum memeluk agama Hindu, sehingga ia tidak bisa menjadi pendiri dinasti Hindu.
Dari Raja Aswawarman menurunlah sampai Mulawarman, karena Mulawarman pun memeluk agama Hindu. Hal itu diketahui dari penyebutan bangunan suci untuk Dewa Trimurti. Bangunan itu disebut bangunan Wapraskewara dan di Gua Kembeng di Pedalaman Kutai ada sejumlah arca-arca agama Hindu seperti Siwa dan Ganesa.
Bukti Peninggalan
Bukti sejarah Kerajaan Kutai ini adalah ditemukannya tujuh buah prasasti yang berbentuk Yupa (tiang batu)

Jembatan Kutai Kartanegara
Jembatan Kutai Kartanegara adalah jembatan yang melintas di atas sungai Mahakam dan merupakan jembatan gantung terpanjang di Indonesia.  Panjang jembatan secara keseluruhan mencapai 710 meter, dengan bentang bebas, atau area yang tergantung tanpa penyangga, mencapai 270 meter.[4] Jembatan ini merupakan sarana penghubung antara kota Tenggarong dengan kecamatan Tenggarong Seberang yang menuju ke Kota Samarinda.
Pembangunan
Jembatan Kutai Kartanegara merupakan jembatan kedua yang dibangun melintasi Sungai Mahakam setelah Jembatan Mahakam di Samarinda sehingga juga disebut Jembatan Mahakam II. Jembatan ini dibangun menyerupai Jembatan Golden Gate di San Fransisco, Amerika Serikat. Pembangunan jembatan ini dimulai pada tahun 1995 dan selesai pada 2001 dengan kontraktor PT Hutama Karya yang menangani proyek pembangunan jembatan tersebut.
Saat diresmikan, jembatan ini dinamai Jembatan Gerbang Dayaku yang diambil dari slogan pembangunan gagasan bupati Kutai Kartanegara saat itu, Syaukani Hasan Rais. Sejak Syaukani tidak menjabat lagi sebagai bupati, jembatan ini diganti namanya menjadi Jembatan Kutai Kartanegara ing Martadipura atau Jembatan Kartanegara.
Jembatan ini juga merupakan akses menuju Samarinda ataupun sebaliknya yang dapat ditempuh hanya sekitar 30 menit. Melewati Jembatan Gerbang Dayaku Kutai Kartanegara ada pemandangan menarik yang dapat disaksikan, yaitu hamparan sebuah pulau kecil yang memisahkan Tenggarong dan Kecamatan Tenggarong Seberang, yaitu Pulau Kumala, sebuah pulau yang telah disulap menjadi Kawasan Wisata Rekreasi yang banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.
Di kawasan Jembatan Kutai Kartanegara juga terdapat Jam Bentong yang merupakan sebuah tugu yang terdapat taman-taman yang terlihat asri dan indah jika dilihat dari atas jembatan. Di dekat jembatan dibangun sarana olahraga panjat dinding sebanyak 2 buah. Kawasan ini setiap sorenya selalu dipenuhi oleh pengunjung yang dapat menikmati keindahan Jembatan Kutai Kartanegara serta memandang Pulau Kumala dari kejauhan.
Ambruk
Pada tanggal 26 November 2011 pukul 16.20 waktu setempat, Jembatan Kutai Kartanegara ambruk dan roboh. Puluhan kendaraan yang berada di atas jalan jembatan tercebur ke Sungai Mahakam. 21 orang tewas dan puluhan luka-luka akibat peristiwa ini dan dirawat di RSUD Aji Muhammad Parikesit dan 40 terluka, serta 19 orang dilaporkan hilang.
Investigasi
Hasil penelitian tiga tim universitas yang terpisah menunjukkan adanya indikasi kesalahan konstruksi. Tim dari Institut Teknologi 10 November menytakan ada kelemahan pada klem pengikat kabel vertikal.

Acar Adat Kutai Karatnegara
Erau

Mengulur Naga, salah satu prosesi dari adat Erau.
Erau adalah sebuah tradisi budaya Indonesia yang dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti: banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan.
Sejarah
Suku Dayak yang berpartisipasi dalam upacara Erau di Tenggarong.
Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara.
Dalam perkembangannya, upacara Erau selain sebagai upacara penobatan Raja, juga untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap Kerajaan.
Pelaksanaan upacara Erau dilakukan oleh kerabat Keraton/Istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi kepada kerajaan. Mereka datang dari seluruh pelosok wilayah kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman. Dalam upacara Erau ini, Sultan serta kerabat Keraton lainnya memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih Sultan atas pengabdian rakyatnya.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara pada tahun 1960, wilayahnya menjadi daerah otonomi yakni Kabupaten Kutai. Tradisi Erau tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai pesta rakyat dan festival budaya yang menjadi agenda rutin Pemerintah Kabupaten Kutai dalam rangka memperingati hari jadi kota Tenggarong, pusat pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara sejak tahun 1782.
Pelaksanaan Erau
Belimbur, acara puncak dari Erau dengan saling siram-menyiram.
Pelaksanaan Erau yang terakhir menurut tata cara Kesultanan Kutai Kartanegara dilaksanakan pada tahun 1965, ketika diadakan upacara pengangkatan Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat.
Sedangkan Erau sebagai upacara adat Kutai dalam usaha pelestarian budaya dari Pemda Kabupaten Kutai baru diadakan pada tahun 1971 atas prakarsa Bupati Kutai saat itu, Drs.H. Achmad Dahlan. Upacara Erau dilaksanakan 2 tahun sekali dalam rangka peringatan ulang tahun kota Tenggarong yang berdiri sejak 29 September 1782.
Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara yang terakhir, Sultan A.M. Parikesit, maka Erau dapat dilaksanakan Pemda Kutai Kartanegara dengan kewajiban untuk mengerjakan beberapa upacara adat tertentu, tidak boleh mengerjakan upacara Tijak Kepala dan Pemberian Gelar, dan beberapa kegiatan yang diperbolehkan seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian dan olahraga/ketangkasan.[3]
Erau sebagai pesta budaya
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai untuk menjadikan Erau sebagai pesta budaya yakni dengan menetapkan waktu pelaksanaan Erau secara tetap pada bulan September berkaitan dengan hari jadi kota Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kesultanan Kutai Kartanegara.
Festival Erau yang kini telah masuk dalam calendar of events pariwisata nasional, tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara tetapi lebih bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.

No comments:

Post a Comment